Analisis Film " THE
ROOMMATE"
Film berjudul The
Roommate ini menceritakan tentang seorang mahasiswi yang memiliki teman sekamar
seorang psycho. Bermula dari kedatangan Sara (Minka Kelly) masuk ke perguruan
tinggi ULA (University of Los Angeles) di bidang seni dan mulai tinggal di
asrama setempat. Sara belum memiliki teman sekamar ketika ia datang pertama
kali, hingga Sara pulang dari pesta yang diadakan oleh asrama Tau Sigma Kappa
yang diajak oleh teman barunya bernama Tracy, Sara akhirnya bertemu dengan
teman sekamarnya yang bernama Rebbeca, yang diperankan oleh Leighton Meester. Mereka
mulai berteman dan Rebecca menyukai koleksi pakaian Sara. Sara mengizinkannya
memakai pakaian manapun yang dia suka, kecuali kalung dengan liontin yang
merupakan peninggalan kakaknya, Emily, yang meninggal ketika Sara berusia 9
tahun.
Pada awalnya pertemanan
antara Sara dengan Rebecca terlihat normal saja layaknya persahabatan antar
wanita sebayanya. Tetapi makin lama perasaan yang diberikan oleh Rebecca
terhadap Sara lebih cenderung ke sifat protektif bahkan sering timbul perasaan
cemburu yang ditunjukkan oleh Rebecca bila Sara terlihat bersama teman wanita
lainnya atau pacar barunya yang baru saja dikenal saat pesta di asrama Tau
Sigma Kappa. Bahkan Rebecca sempat menggunakan kalung milik kakak Sara yang telah
meninggal tanpa seizin Sara sendiri.
Teror pertama yang
dilakukan Rebecca terhadap orang-orang di dekat Sara adalah Tracy. Rebecca
menyerang Tracy ketika Tracy sedang mandi, karena menurut Rebecca, Tracy dapat
memberikan pengaruh buruk terhadap diri Sara. Korban berikutnya adalah dosen
Sara yang bernama Prof. Roberts, alasannya karena Prof. Roberts melakukan
pelecehan seksual terhadap Sara atau lebih tepatnya mencium Sara. Rebecca yang
mendengar hal itu dari Sara tentu tidak dapat menerimanya, dia marah kemudian
menghampiri Prof. Roberts di ruangannya lalu mengancam Prof. Roberts atas
tindakan pelecehan seksual jika dia tidak menjauhi Sara.
Pada hari Thanksgiving,
Sara berencana untuk tinggal bersama pacarnya Stephen (diperankan oleh Sam
Gigandet) dan mengungkapkannya pada Rebecca. Diam-diam, Rebecca merasa cemburu
dan mencari cara agar Sara memilih untuk merayakan Thanksgiving bersamanya dan
bukan bersama Stephen. Dia lalu membunuh kucing kesayangan Sara di dalam mesin
pengering. Kemudian dia membuat luka memar di sekujur tubuhnya dengan secara
sengaja memukuli wajahnya hingga lebam, menggores kaki dan tangannya hingga
luka. Terakhir dia menggores perutnya dengan pisau dan dibiarkan berdarah,
hingga Sara pulang dan melihatnya. Rebecca mengarang cerita kalau dia sedang
mencari kucing Sara yang hilang, ketika seorang pria menyergapnya di lorong
sepi dan memperkosanya. Sara menyuruhnya ke RS dan melapor ke polisi. Tapi
Rebecca menolak dengan alasan dia malu kalau ketahuan diperkosa dan meminta
Sara tidak menceritakan hal itu kepada orang lain. Sara yang merasa kasihan,
terpaksa menyetujuinya. Untuk menghibur hari Rebecca yang sedang shock, Sara
pun membatalkan janjinya dengan Stephen dan memilih merayakan Thanksgiving di
rumah keluarga Rebecca.
Baru diketahui oleh
Sara bila Rebecca sebenarnya menderita gangguan jiwa, dari obat yang dia
temukan di laci milik Rebecca. Sara menemukan botol obat atas nama Rebecca,
merk nya Zyprexa. Sara dan Stephen menyelidiki kegunaan obat itu melalui
internet dan menemukan kalau obat itu adalah untuk penderita bipolar dan
schizoprenia. Dari situlah Sara mulai merasa takut ditambah dengan kelakuan
Rebecca yang membuat Sara semakin kesal, yaitu dengan membuat tatoo di dada
kiri Rebecca seperti halnya Sara, dengan tanda nama Emily (nama kakak Sara)
agar Sara menganggap Rebecca dapat menjadi penggati kakak Sara. Hingga saat itu
Sara mulai pindah ke kamar Stephen, pacar Sara, yang membuat Rebecca semakin
kesal tentunya. Hal buruk semakin menjadi ketika Rebecca menyandera Irene
(sahabat lama Sara) di apartemen milik Irene sendiri, dan perkelahian antara
Sara dan Rebecca pun tak dapat dihindarkan.
Di akhir film
ditunjukkan kalau Sara kembali tinggal di asrama. Tapi dia sudah tidak ingin
memiliki teman sekamar lagi. Dia memutuskan untuk mengeluarkan tempat tidur
Rebecca dulu dan meletakkannya di lorong asrama.
Analisis Film
Berdasarkan review film
The Roommate diatas, dapat diketahui
bahwa salah satu tokohnya bernama Rebbeca yang diperankan oleh Leighton Meester
mengalami gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian adalah kondisi psikologis
yang biasanya muncul pada usia remaja atau dewasa awal yang kemudian berkelanjutan
terus-menerus selama bertahun-tahun dan menimbulkan banyak penderitaan. Gangguan
kepribadian yang berhubungan dengan film diatas adalah Borderline Personality Disorder.
Borderline
Personality Disorder merupakan gangguan psikologis yang
terjadi diakibatkan ketidaklabilan suasana hati penderita yang diikuti dengan
serangan depresi, kecemasan, atau kemarahan yang sangat frekuen dan terkadang
tidak masuk akal. Lebih detailnya, gangguan kepribadian Borderline Personality ini merupakan gangguan kepribadian dalam
menjalin hubungan dengan orang lain, mengenal
perasaan-perasaan sendiri, serta kegagalan dalam mengontrol emosi dan
prilaku yang disebabkannya. Masalah yang paling menonjol pada penderita
gangguan kepribadian ini adalah adanya dorongan impuls bunuh diri atau perilaku-perilaku
untuk mencelakakan diri sendiri.
Bentuk seperti
ketidakstabilan mood, cara berpikir yang kurang jelas, serta ketidakstabilan
dalam mempertahankan hubungan interpersonal, gambaran diri, emosi, dan perilaku
merupakan gangguan nyata pada gangguan keperibadian ini. Akibat yang paling
besar dari bentuk perilaku ini adalah dampaknya pada lingkungan sosial penderita.
Borderline
Personality juga berhubungan dengan sensitivitas
yang kuat terhadap pengabaian, yang meliputi rasa takut ditinggalkan oleh orang
yang dicintai dan berupaya menghindari kenyataan maupun bayangan bila
ditinggalkan karena penderita Borderline
Personality tidak mampu bertahan sendiri tanpa orang lain. Penderita Borderline Personality ini cenderung
memiliki ide ketakutan akan ditinggalkan yang dapat menjadikan mereka pribadi
yang melekat dan menuntut dalam hubungan sosial mereka, namun kelekatan mereka
sering kali menjauhkan orang-orang di sekitarnya. Tanda-tanda penolakan membuat
penderita menjadi sangat marah. Akibatnya, perasaan penderita terhadap lingkungan
menjadi berubah-ubah. Penderita cenderung mamandang orang lain sebagai semua
tentangnya baik dan semua tentangnya buruk karena berubah-ubah dengan cepat dan
ekstrem.
Dalam kondisi stres, penderita
Borderline Personality dapat
mengalami perubahan dalam pemikiran, termasuk munculnya pikiran paranoid atau disosiasi (mati rasa).
Gangguan kepribadian
ini disebut sebagai gangguan kepribadian ambang (Borderline) dikarenakan berada di antara perbatasan antara gangguan
neourotik dan schizofrenia. Gangguan ini biasa terjadi pada masa dewasa awal atau
remaja dan kebanyakan terjadi pada wanita (wanita memiliki kecenderungan 3 kali
lebih rentan dibandingkan pria).
Teori yang Terkait Dengan Borderline Personality Disorder
Teori yang mampu
menjelaskan timbulnya gangguan kepribadian Borderline
Personality ini adalah Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud. Menurut pandangan
psikoanalisa, seseorang dapat menderita gangguan ini dikarenakan kurangnya
kondisi relasi yang tercipta di masa kecilnya dengan pengasuhnya. Tindakan
pengasuh yang membuat penderita tergantung pada masa awal dan kemudian pada
saat mulai lepas dari pengasuh mengakibatkan penderita kurang mampu mempelajari
pandangannya terhadap pengasuh dan orang lain. Akibatnya, penderita kurang
berkembang dalam memahami dirinya dan orang lain.
Penderita yang
terhambat perkembangannya pada pandangannya terhadap dirinya dan orang lain ini
menjadi tidak mampu dan ragu-ragu dalam mempersepsikan dirinya dan orang lain. penderita
bisa berpendapat semua yang ada pada dirinya salah atau benar dan bahkan ragu
akan pandangannya tersebut.
Faktor Penyebab Timbulnya
Borderline Personality Disorder
Sampai saat ini
penyebab pasti dari terjadinya gangguan kepribadian Borderline Personality masih belum diketahui, namun faktor
lingkungan dan genetik memiliki peran dalam membentuk seseorang untuk menunjukkan
gejala dan bentuk dari gangguan ini. Terdapat bukti bahwa perbedaan struktur
dan fungsi otak juga turut berkontribusi terhadap timbulnya gangguan
kepribadian Borderline Personality ini.
Seperti yang telah dikemukakan di atas,
bahwa teori psikoanalisa dalam menjelaskan terjadinya gangguan kepribadian Borderline Personality ini, sebagai
akibat dari yang dialami penderita dalam kehidupannya di masa lalu. Dibawah ini
akan dijelaskan mengenai hal terkait, sebagai berikut :
1. Kekerasan
pada Masa Kanak-kanak, Penolakan dan Terpisah dengan Orang Tua Kandung
Banyak
studi menunjukkan bahwa hubungan kekerasan pada anak, terutama pelecehan dan
kekerasan seksual akan menumbuhkan perkembangan kepribadian anak di kemudian
hari menjadi Borderline Personality
Disorder.
2.
Faktor
Kegagalan Tugas dalam Perkembangan
Penelitian
Kernberg menyebutkan bahwa kemunculan Borderline
Personality Disorder disebabkan oleh kegagalan tugas-tugas perkembangan
pada masa kanak-kanak. Kegagalan tersebut berupa kegagalan anak dalam mengenal
dan membedakan diri anak dengan orang lain.
3.
Faktor
Genetik
Beberapa
literatur menyebutkan bahwa perlakuan-perlakuan yang berhubungan dengan Borderline Personality akan berpengaruh
pada gen yang nantinya akan mempengaruhi kepribadian anak. Akan tetapi, faktor
genetik ini masih diteliti lebih lanjut. Pengaruh serotonin yang berhubungan dengan genetik juga diduga ikut
berpengaruh.
4.
Ketidakseimbangan
Neurotransmitter
Ketidakseimbangan neurotransmitter, seperti serotonin, norepinephrine, serta acetylcholine
(berpengaruh pada jenis emosi dan mood), GABA, (stabilisator perubahan mood), dan fungsi amygdala, ikut mempengaruhi perilaku- perilaku penderita Borderline Personality dalam merespon stressor yang muncul.
Pengobatan pada
Penderita Borderline Personality Disorder
Pegangan
praktis American Psychiatric Association
untuk pengobatan gangguan kepribadian ini menyarankan kombinasi antara
psikoterapi dengan pengobatan farmakologis untuk hasil yang optimal.
Berikut
beberapa terapi pengobatan untuk gangguan kepribadian Borderline Personality:
1. Dialectical
Behavioral Therapy
Dialectical
Behavioral Therapy (DBT) pada perawatan Borderline
Personality merupakan terapi yang berlandaskan pada teori biososial, yakni
menekankan fungsi-fungsi pribadi dalam mengatur emosi yang sesuai dengan
pengalaman lingkungan.
2. Schema
Therapy
Treatment
ini menitikberatkan pada hubungan antara terapis dan klien (pendampingan;
reparenting), kehidupan sehari-hari klien diluar terapi, dan pengalaman trauma
masa kecil.
3. Family
Therapy
Terapi
keluarga sangat membantu untuk mengurangi konflik dan stres yang dapat
memperburuk kondisi mental individu penderita Borderline Personality Disorder.
4. Transference-Focused
Psychotherapy
Transference-Focused Psychotherapy
(TFP) merupakan bentuk dari terapi psikoanalisa yang dikembangkan oleh Otto
Kernberg. Terapis berusaha menggali dan mengklarifikasi aspek-aspek dalam persahabatan yang sesuai dengan kebutuhan
klien.
5. Mentalization
Based Treatment
Mentalization
Based Treatment (MBT) merupakan bentuk regulasi kembali
mental yang dianggap telah terganggu setelah mengalami pelbagai permasalahan di masa kanak-kanak. Fokus dalam
terapi ini adalah mengembangkan diri pasien secara mandiri untuk mengatur cara
berpikir berdasarkan teori-teori
psikodinamika.
Sumber :