kiling me

Minggu, 28 Juni 2015

Tugas Kesehatan Mental

Analisis Film " THE ROOMMATE"

Film berjudul The Roommate ini menceritakan tentang seorang mahasiswi yang memiliki teman sekamar seorang psycho. Bermula dari kedatangan Sara (Minka Kelly) masuk ke perguruan tinggi ULA (University of Los Angeles) di bidang seni dan mulai tinggal di asrama setempat. Sara belum memiliki teman sekamar ketika ia datang pertama kali, hingga Sara pulang dari pesta yang diadakan oleh asrama Tau Sigma Kappa yang diajak oleh teman barunya bernama Tracy, Sara akhirnya bertemu dengan teman sekamarnya yang bernama Rebbeca, yang diperankan oleh Leighton Meester. Mereka mulai berteman dan Rebecca menyukai koleksi pakaian Sara. Sara mengizinkannya memakai pakaian manapun yang dia suka, kecuali kalung dengan liontin yang merupakan peninggalan kakaknya, Emily, yang meninggal ketika Sara berusia 9 tahun.
Pada awalnya pertemanan antara Sara dengan Rebecca terlihat normal saja layaknya persahabatan antar wanita sebayanya. Tetapi makin lama perasaan yang diberikan oleh Rebecca terhadap Sara lebih cenderung ke sifat protektif bahkan sering timbul perasaan cemburu yang ditunjukkan oleh Rebecca bila Sara terlihat bersama teman wanita lainnya atau pacar barunya yang baru saja dikenal saat pesta di asrama Tau Sigma Kappa. Bahkan Rebecca sempat menggunakan kalung milik kakak Sara yang telah meninggal tanpa seizin Sara sendiri.
Teror pertama yang dilakukan Rebecca terhadap orang-orang di dekat Sara adalah Tracy. Rebecca menyerang Tracy ketika Tracy sedang mandi, karena menurut Rebecca, Tracy dapat memberikan pengaruh buruk terhadap diri Sara. Korban berikutnya adalah dosen Sara yang bernama Prof. Roberts, alasannya karena Prof. Roberts melakukan pelecehan seksual terhadap Sara atau lebih tepatnya mencium Sara. Rebecca yang mendengar hal itu dari Sara tentu tidak dapat menerimanya, dia marah kemudian menghampiri Prof. Roberts di ruangannya lalu mengancam Prof. Roberts atas tindakan pelecehan seksual jika dia tidak menjauhi Sara.
Pada hari Thanksgiving, Sara berencana untuk tinggal bersama pacarnya Stephen (diperankan oleh Sam Gigandet) dan mengungkapkannya pada Rebecca. Diam-diam, Rebecca merasa cemburu dan mencari cara agar Sara memilih untuk merayakan Thanksgiving bersamanya dan bukan bersama Stephen. Dia lalu membunuh kucing kesayangan Sara di dalam mesin pengering. Kemudian dia membuat luka memar di sekujur tubuhnya dengan secara sengaja memukuli wajahnya hingga lebam, menggores kaki dan tangannya hingga luka. Terakhir dia menggores perutnya dengan pisau dan dibiarkan berdarah, hingga Sara pulang dan melihatnya. Rebecca mengarang cerita kalau dia sedang mencari kucing Sara yang hilang, ketika seorang pria menyergapnya di lorong sepi dan memperkosanya. Sara menyuruhnya ke RS dan melapor ke polisi. Tapi Rebecca menolak dengan alasan dia malu kalau ketahuan diperkosa dan meminta Sara tidak menceritakan hal itu kepada orang lain. Sara yang merasa kasihan, terpaksa menyetujuinya. Untuk menghibur hari Rebecca yang sedang shock, Sara pun membatalkan janjinya dengan Stephen dan memilih merayakan Thanksgiving di rumah keluarga Rebecca.
Baru diketahui oleh Sara bila Rebecca sebenarnya menderita gangguan jiwa, dari obat yang dia temukan di laci milik Rebecca. Sara menemukan botol obat atas nama Rebecca, merk nya Zyprexa. Sara dan Stephen menyelidiki kegunaan obat itu melalui internet dan menemukan kalau obat itu adalah untuk penderita bipolar dan schizoprenia. Dari situlah Sara mulai merasa takut ditambah dengan kelakuan Rebecca yang membuat Sara semakin kesal, yaitu dengan membuat tatoo di dada kiri Rebecca seperti halnya Sara, dengan tanda nama Emily (nama kakak Sara) agar Sara menganggap Rebecca dapat menjadi penggati kakak Sara. Hingga saat itu Sara mulai pindah ke kamar Stephen, pacar Sara, yang membuat Rebecca semakin kesal tentunya. Hal buruk semakin menjadi ketika Rebecca menyandera Irene (sahabat lama Sara) di apartemen milik Irene sendiri, dan perkelahian antara Sara dan Rebecca pun tak dapat dihindarkan.
Di akhir film ditunjukkan kalau Sara kembali tinggal di asrama. Tapi dia sudah tidak ingin memiliki teman sekamar lagi. Dia memutuskan untuk mengeluarkan tempat tidur Rebecca dulu dan meletakkannya di lorong asrama.


Analisis Film
Berdasarkan review film The Roommate diatas, dapat diketahui bahwa salah satu tokohnya bernama Rebbeca yang diperankan oleh Leighton Meester mengalami gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian adalah kondisi psikologis yang biasanya muncul pada usia remaja atau dewasa awal yang kemudian berkelanjutan terus-menerus selama bertahun-tahun dan menimbulkan banyak penderitaan. Gangguan kepribadian yang berhubungan dengan film diatas adalah Borderline Personality Disorder.
Borderline Personality Disorder merupakan gangguan psikologis yang terjadi diakibatkan ketidaklabilan suasana hati penderita yang diikuti dengan serangan depresi, kecemasan, atau kemarahan yang sangat frekuen dan terkadang tidak masuk akal. Lebih detailnya, gangguan kepribadian Borderline Personality ini merupakan gangguan kepribadian dalam menjalin hubungan dengan orang lain, mengenal  perasaan-perasaan sendiri, serta kegagalan dalam mengontrol emosi dan prilaku yang disebabkannya. Masalah yang paling menonjol pada penderita gangguan kepribadian ini adalah adanya dorongan impuls bunuh diri atau perilaku-perilaku untuk mencelakakan diri sendiri.
Bentuk seperti ketidakstabilan mood, cara berpikir yang kurang jelas, serta ketidakstabilan dalam mempertahankan hubungan interpersonal, gambaran diri, emosi, dan perilaku merupakan gangguan nyata pada gangguan keperibadian ini. Akibat yang paling besar dari bentuk perilaku ini adalah dampaknya pada lingkungan sosial penderita.
Borderline Personality juga berhubungan dengan sensitivitas yang kuat terhadap pengabaian, yang meliputi rasa takut ditinggalkan oleh orang yang dicintai dan berupaya menghindari kenyataan maupun bayangan bila ditinggalkan karena penderita Borderline Personality tidak mampu bertahan sendiri tanpa orang lain. Penderita Borderline Personality ini cenderung memiliki ide ketakutan akan ditinggalkan yang dapat menjadikan mereka pribadi yang melekat dan menuntut dalam hubungan sosial mereka, namun kelekatan mereka sering kali menjauhkan orang-orang di sekitarnya. Tanda-tanda penolakan membuat penderita menjadi sangat marah. Akibatnya, perasaan penderita terhadap lingkungan menjadi berubah-ubah. Penderita cenderung mamandang orang lain sebagai semua tentangnya baik dan semua tentangnya buruk karena berubah-ubah dengan cepat dan ekstrem.
Dalam kondisi stres, penderita Borderline Personality dapat mengalami perubahan dalam pemikiran, termasuk munculnya pikiran paranoid atau disosiasi (mati rasa).
Gangguan kepribadian ini disebut sebagai gangguan kepribadian ambang (Borderline) dikarenakan berada di antara perbatasan antara gangguan neourotik dan schizofrenia. Gangguan ini biasa terjadi pada masa dewasa awal atau remaja dan kebanyakan terjadi pada wanita (wanita memiliki kecenderungan 3 kali lebih rentan dibandingkan pria).


Teori yang Terkait Dengan Borderline Personality Disorder
Teori yang mampu menjelaskan timbulnya gangguan kepribadian Borderline Personality ini adalah Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud. Menurut pandangan psikoanalisa, seseorang dapat menderita gangguan ini dikarenakan kurangnya kondisi relasi yang tercipta di masa kecilnya dengan pengasuhnya. Tindakan pengasuh yang membuat penderita tergantung pada masa awal dan kemudian pada saat mulai lepas dari pengasuh mengakibatkan penderita kurang mampu mempelajari pandangannya terhadap pengasuh dan orang lain. Akibatnya, penderita kurang berkembang dalam memahami dirinya dan orang lain.
Penderita yang terhambat perkembangannya pada pandangannya terhadap dirinya dan orang lain ini menjadi tidak mampu dan ragu-ragu dalam mempersepsikan dirinya dan orang lain. penderita bisa berpendapat semua yang ada pada dirinya salah atau benar dan bahkan ragu akan pandangannya tersebut.


Faktor Penyebab Timbulnya Borderline Personality Disorder
Sampai saat ini penyebab pasti dari terjadinya gangguan kepribadian Borderline Personality masih belum diketahui, namun faktor lingkungan dan genetik memiliki peran dalam membentuk seseorang untuk menunjukkan gejala dan bentuk dari gangguan ini. Terdapat bukti bahwa perbedaan struktur dan fungsi otak juga turut berkontribusi terhadap timbulnya gangguan kepribadian Borderline Personality ini.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa teori psikoanalisa dalam menjelaskan terjadinya gangguan kepribadian Borderline Personality ini, sebagai akibat dari yang dialami penderita dalam kehidupannya di masa lalu. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai hal terkait, sebagai berikut :
1.      Kekerasan pada Masa Kanak-kanak, Penolakan dan Terpisah dengan Orang Tua Kandung
Banyak studi menunjukkan bahwa hubungan kekerasan pada anak, terutama pelecehan dan kekerasan seksual akan menumbuhkan perkembangan kepribadian anak di kemudian hari menjadi Borderline Personality Disorder.
2.        Faktor Kegagalan Tugas dalam Perkembangan
Penelitian Kernberg menyebutkan bahwa kemunculan Borderline Personality Disorder disebabkan oleh kegagalan tugas-tugas perkembangan pada masa kanak-kanak. Kegagalan tersebut berupa kegagalan anak dalam mengenal dan membedakan diri anak dengan orang lain.
3.      Faktor Genetik
Beberapa literatur menyebutkan bahwa perlakuan-perlakuan yang berhubungan dengan Borderline Personality akan berpengaruh pada gen yang nantinya akan mempengaruhi kepribadian anak. Akan tetapi, faktor genetik ini masih diteliti lebih lanjut. Pengaruh serotonin yang berhubungan dengan genetik juga diduga ikut berpengaruh.
4.      Ketidakseimbangan Neurotransmitter
Ketidakseimbangan neurotransmitter, seperti serotonin, norepinephrine, serta acetylcholine (berpengaruh pada jenis emosi dan mood), GABA, (stabilisator perubahan mood), dan fungsi amygdala, ikut mempengaruhi perilaku- perilaku penderita Borderline Personality dalam merespon stressor yang muncul.


Pengobatan pada Penderita Borderline Personality Disorder
Pegangan praktis American Psychiatric Association untuk pengobatan gangguan kepribadian ini menyarankan kombinasi antara psikoterapi dengan pengobatan farmakologis untuk hasil yang optimal.
Berikut beberapa terapi pengobatan untuk gangguan kepribadian Borderline Personality:
1.    Dialectical Behavioral Therapy
       Dialectical Behavioral Therapy (DBT) pada perawatan Borderline Personality merupakan terapi yang berlandaskan pada teori biososial, yakni menekankan fungsi-fungsi pribadi dalam mengatur emosi yang sesuai dengan pengalaman lingkungan.
2.    Schema Therapy
Treatment ini menitikberatkan pada hubungan antara terapis dan klien (pendampingan; reparenting), kehidupan sehari-hari klien diluar terapi, dan pengalaman trauma masa kecil.
3.    Family Therapy
Terapi keluarga sangat membantu untuk mengurangi konflik dan stres yang dapat memperburuk kondisi mental individu penderita Borderline Personality Disorder.
4.    Transference-Focused Psychotherapy
Transference-Focused Psychotherapy (TFP) merupakan bentuk dari terapi psikoanalisa yang dikembangkan oleh Otto Kernberg. Terapis berusaha menggali dan mengklarifikasi aspek-aspek dalam  persahabatan yang sesuai dengan kebutuhan klien.
5.    Mentalization Based Treatment
Mentalization Based Treatment (MBT) merupakan bentuk regulasi kembali mental yang dianggap telah terganggu setelah mengalami pelbagai  permasalahan di masa kanak-kanak. Fokus dalam terapi ini adalah mengembangkan diri pasien secara mandiri untuk mengatur cara berpikir  berdasarkan teori-teori psikodinamika.



Sumber :